"Bu Ade, siap menulis naskah sudirman ya untuk teman-teman guru!"
Terus terang aku langsung kaget, stress, dan bimbang. Kaget karena perintah dari ibu ketua PHBNI (Panitia Hari-hari Besar Nasional dan Islam) itu datang disaat aku sedang under preasure untuk kegiatan pentas seni kelas 5. Stress karena aku belum pernah sedikitpun menulis naskah sejarah. Bimbang karena aku bingung "apa yang harus aku tulis?"
Jujur menulis adalah hobiku, tapi aku terbiasa menulis
cerita-cerita parodi. Yang bisa dicari dengan ber-googling ria. Tapi
kalau sejarah? Info dramanya tidak aku dapatkan jika hanya ber-googling
ria. Awalnya aku coba untuk menerimanya. Dan aku memberi syarat aku
tidak bisa menulis dengan cepat, seperti halnya aku menulis pentas
parodi.
Ditambah lagi saat itu kerjaan pentas yang tingkat stressnya kalau di ukur dengan angka 1 hingga 10, maka dia sampai di level 9. Aku coba untuk terus ber-googling ria mencari sejarah pahlawan religius tersebut. Begadang pun sudah menjadi kewajibanku untuk mencari suasana nyaman dalam menulis. Bahkan bukan aku saja, untuk sebagain teman-teman guru yang kebetulan kebagian kerjaan segudang, kata "begadang" sudah bukan hal aneh lagi bagi mereka.
Entah apa karena faktor U atau pola makanku lagi jelek atau mungkin kurang olahraga, darahku langsung drop. Kepalaku seperti dijambak-jambak. Tapi karena aku sudah terlanjur mengiyakan permintaan ketua HBNI tersebut, aku berusaha semaksimal mungkin. Cumaaaaa... tetap saja aku terbentur dengan kata 'Sejarah'nya itu loh.
Kenapa sih? Sejarah bukannya justru gampang?
Jawabanku tetap "TIDAK". Karena naskah sejarah harus kita tulis dengan benar sesuai dengan yang dilakukan oleh pelaku sejarah tersebut. Sedangkan aku terbiasa ber-fantasi ria. Berimajinasi dengan hal-hal konyol, sedih dan indah-indah.
Aku sempat give up. Aku langsung minta ijin mengundurkan diri ke bu Kepsek dan memohon beliau untuk memberikan kepada temanku yang memang terbiasa menulis naskah sejarah. Aku benar-benar mentok. Waktuku untuk mencari buku tentang Sudirman tak ada. Saat minta ijin, aku sedang istirahat di rumah karena kepalaku yang makin sakit. Istirahat? itu menurut sebagian teman. Tapi aku tetap duduk di depan laptopku utnuk menyelesaikan tugas.
Bu Kepsek menolak. Dengan alasan, "Itu permintaan Yayasan"
Haduuuuuuh... bukan sembuh kepalaku makin sakiiiit mendengarnya. Aku bingung. Aku pun mengadu kepada ketua PBHNI dan Wakil ketuanya, yang kebetulan kami juga dekat. Aku minta tolong mereka untuk membantuku mencari buku atau artikel tentang Sudirman.
Bersyukur mereka berdua adalah orang yang saaaaangat baik. Mereka segera membantuku mencarikan apa yang aku minta. Dan mereka menemukan apa yang aku perlukan. Subhanallah tiada terhingga rasa terima kasihku kepada Bu Desi dan Bu Yuna. Akhirnya dengan beban berat dikepalaku (beban tanggung jawab dan sakit) aku berusaha menyelsaikan naskahku.
Aku teringat akan pesan guru menulisku, "Sebuah tulisan itu bisa hidup jika kita menulisnya dengan hati". Dan pesan tersebut pun dikuatkan oleh hampir semua teman-teman penulis. Buku sejarah tentang Sudirman yang diberikan oleh Bu Yuna, aku bawa kemana pun aku pergi. Temannya adalah laptop papa yang gede dan beratnya segambreng. Itu buku sampe rusak... Maaf ya, Bu Yuna ~_~. Dimanapun ada kesempatan dan ide datang langsung aku buat tulisannya.
Aku kerjakan tugas tersebut dan menulisnya dengan hati. Aku menganggap diriku Sudirman. Saat Sudirman diangkat anak dan kaget karena tahu beliau anak angkat, aku pun ikut kaget. Saat suasana perang, aku seolah sedang perang. Dan saat menulis adegan meninggal aku pun ikut menangis. Bahkan aku sempat panik saat naskah babak kedua hilang bersama flashdiskku. Huaaaaaaa.... tapi alhamdulillah FD-ku ketemu.. ga jadi nangisnya. Finally, naskahku selesai.
Dengan segenap bantuan teman-teman guru yang ditunjuk
sebagai pemain, petugas menyiapkan kostum, properti, operator rekaman,
dekorasi panggung dan para OB yang menyiapkan segala keperluan pentas.
Naskahku dipentaskan.
Subhanallah, aku takjub.... Teman-teman guru yang bermain diatas pentas memainkan naskahku, mampu membuat penonton (yang sebagaian besar anak-anak) tertawa bahkan menangis saat adegan terakhir dimana Sudirman meninggal.
Sungguh tiada kata yang sanggup ku ucapkan untuk semua teman-teman yang telah membantuku dalam pementasan ini. Aku ucapkan rasa terima kasihku ini kepada teman-teman yang aku tag. Karena kalian, naskahku berjalan dengan baik dan mampu membawa suasana hati penonton... Sungguh tanpa kalian naskahku tak berarti apa-apa. Sekali lagi terima kasih teman-teman. Semoga Allah membalas kebaikan hati kalian. Amin
Terus terang aku langsung kaget, stress, dan bimbang. Kaget karena perintah dari ibu ketua PHBNI (Panitia Hari-hari Besar Nasional dan Islam) itu datang disaat aku sedang under preasure untuk kegiatan pentas seni kelas 5. Stress karena aku belum pernah sedikitpun menulis naskah sejarah. Bimbang karena aku bingung "apa yang harus aku tulis?"
Jabatan penulis naskah pasti menjadi sutradara |
Ditambah lagi saat itu kerjaan pentas yang tingkat stressnya kalau di ukur dengan angka 1 hingga 10, maka dia sampai di level 9. Aku coba untuk terus ber-googling ria mencari sejarah pahlawan religius tersebut. Begadang pun sudah menjadi kewajibanku untuk mencari suasana nyaman dalam menulis. Bahkan bukan aku saja, untuk sebagain teman-teman guru yang kebetulan kebagian kerjaan segudang, kata "begadang" sudah bukan hal aneh lagi bagi mereka.
Entah apa karena faktor U atau pola makanku lagi jelek atau mungkin kurang olahraga, darahku langsung drop. Kepalaku seperti dijambak-jambak. Tapi karena aku sudah terlanjur mengiyakan permintaan ketua HBNI tersebut, aku berusaha semaksimal mungkin. Cumaaaaa... tetap saja aku terbentur dengan kata 'Sejarah'nya itu loh.
Kenapa sih? Sejarah bukannya justru gampang?
Jawabanku tetap "TIDAK". Karena naskah sejarah harus kita tulis dengan benar sesuai dengan yang dilakukan oleh pelaku sejarah tersebut. Sedangkan aku terbiasa ber-fantasi ria. Berimajinasi dengan hal-hal konyol, sedih dan indah-indah.
Aku sempat give up. Aku langsung minta ijin mengundurkan diri ke bu Kepsek dan memohon beliau untuk memberikan kepada temanku yang memang terbiasa menulis naskah sejarah. Aku benar-benar mentok. Waktuku untuk mencari buku tentang Sudirman tak ada. Saat minta ijin, aku sedang istirahat di rumah karena kepalaku yang makin sakit. Istirahat? itu menurut sebagian teman. Tapi aku tetap duduk di depan laptopku utnuk menyelesaikan tugas.
Bu Kepsek menolak. Dengan alasan, "Itu permintaan Yayasan"
Haduuuuuuh... bukan sembuh kepalaku makin sakiiiit mendengarnya. Aku bingung. Aku pun mengadu kepada ketua PBHNI dan Wakil ketuanya, yang kebetulan kami juga dekat. Aku minta tolong mereka untuk membantuku mencari buku atau artikel tentang Sudirman.
Bersyukur mereka berdua adalah orang yang saaaaangat baik. Mereka segera membantuku mencarikan apa yang aku minta. Dan mereka menemukan apa yang aku perlukan. Subhanallah tiada terhingga rasa terima kasihku kepada Bu Desi dan Bu Yuna. Akhirnya dengan beban berat dikepalaku (beban tanggung jawab dan sakit) aku berusaha menyelsaikan naskahku.
Aku teringat akan pesan guru menulisku, "Sebuah tulisan itu bisa hidup jika kita menulisnya dengan hati". Dan pesan tersebut pun dikuatkan oleh hampir semua teman-teman penulis. Buku sejarah tentang Sudirman yang diberikan oleh Bu Yuna, aku bawa kemana pun aku pergi. Temannya adalah laptop papa yang gede dan beratnya segambreng. Itu buku sampe rusak... Maaf ya, Bu Yuna ~_~. Dimanapun ada kesempatan dan ide datang langsung aku buat tulisannya.
Aku kerjakan tugas tersebut dan menulisnya dengan hati. Aku menganggap diriku Sudirman. Saat Sudirman diangkat anak dan kaget karena tahu beliau anak angkat, aku pun ikut kaget. Saat suasana perang, aku seolah sedang perang. Dan saat menulis adegan meninggal aku pun ikut menangis. Bahkan aku sempat panik saat naskah babak kedua hilang bersama flashdiskku. Huaaaaaaa.... tapi alhamdulillah FD-ku ketemu.. ga jadi nangisnya. Finally, naskahku selesai.
Hasil Pentas yang Menakjubkan |
Subhanallah, aku takjub.... Teman-teman guru yang bermain diatas pentas memainkan naskahku, mampu membuat penonton (yang sebagaian besar anak-anak) tertawa bahkan menangis saat adegan terakhir dimana Sudirman meninggal.
Sungguh tiada kata yang sanggup ku ucapkan untuk semua teman-teman yang telah membantuku dalam pementasan ini. Aku ucapkan rasa terima kasihku ini kepada teman-teman yang aku tag. Karena kalian, naskahku berjalan dengan baik dan mampu membawa suasana hati penonton... Sungguh tanpa kalian naskahku tak berarti apa-apa. Sekali lagi terima kasih teman-teman. Semoga Allah membalas kebaikan hati kalian. Amin
Kamis, 15 Desember 2011
Post a Comment
Aduuuh ma kasih yaaa komentarnya. Tapi mohon maaf, buat yang profilnya "unknown" langsung saya hapus. Semoga silaturahmi kita selalu terjaga walau lewat dumay. Selamat membaca tulisan yang lainnya ^_^