"Lepaskan tanganku!"
"Jangan pergi!"
"Mas, aku mohon."
"Winda, aku mencintaimu."
****
Empat bulan sebelumnya
Dengan langkah gontai Winda berjalan. Airmatanya mengalir deras membasahi pipi. Dihatinya seolah berteriak kuat, "Tuhan, tak bisa kah aku menjadi apa yang aku inginkan? haruskah aku melewati semua beban ini?"
Tanpa ia sadari tubuhnya menabrak seseorang dan menjatuhkan tas yang dibawanya, sehingga semua isinya keluar. Dengan gundah yang berkecamuk didadanya, ia berusaha membereskan kembali barang-barangnya yang terjatuh.
"Maaf, Mbak. Saya tidak melihat." ujar orang tersebut.
"Tak apa. Sayalah yang berjalan tanpa melihat sekeliling saya."
"Biar saya bantu!" orang tersebut membantu membereskan barang-barang Winda dan memasukkan kembali ke dalam tas Winda.
"Terima kasih, Mas!"
"Sama-sama, Mbak. Sekali lagi saya minta maaf. Nama saya Bram." ucap pria tersebut sambil menjulurkan tangannya. "Loh? kamu?" mulut Winda seketika membisu saat melihat pria yang menabrak dan membantunya itu. Wajah pria dihadapannya pun berubah pucat pasi. Kaki pria tersebut seketika melemas. "Ya Tuhan, beban apalagi yang harus ku tanggung kini?" batin mereka berdua.
****
Dua tahun yang lalu
"Sabar ya, Bram! Mungkin ini yang terbaik dari Tuhan untuk Lisa."
Semua orang yang hadir di pemakaman Lisa saat itu berusaha menghibur Bram, tunangan Lisa. Satu per satu pengantar pun pergi meninggalkan Bram yang masih duduk terpekur dipinggir makam Lisa. Hatinya sakit. Perih. Seharusnya 2 hari lagi mereka sudah duduk dengan senyum mengembang di pelaminan. Namun kini?
"Mengapa kau tak sabar untuk menunggu agar kita disatukan dalam pernikahan Lisa?” Bahu Bram perlahan mulai berguncang mengikuti irama tangisnya.
“TUHAAAN. APA SALAHKU? SIKSA APALAGI YANG HARUS KUHADAPI? AAARRRGGHHHH" Tangis Bram tertumpah dimakam Lisa. Di remasnya foto Lisa yang berada dalam gegamannya hingga remuk tak berbentuk. Dibuangnya jauh-jauh foto tersebut, seiring terlempar jauh kenangan Bram dan Lisa.
"Tentunya sedih dan berat jika ditinggalkan kekasih hati." Bram menoleh kearah suara yang tiba-tiba berada disampingnya.
"Kamu siapa?" tanyanya bingung.
"Aku Erwin. Aku melihat kesedihanmu dari kejauhan. Batinku mengatakan untuk datang kemari," ucap pria bernama Erwin sambil mengulurkan tangannya.
"Jika kita ikhlas, Tuhan akan melepasnya dengan tenang. Namun jika tidak, sampai kapan pun ia akan merasa terkekang menjadi bayanganmu."
Setelah mengucapkan hal tersebut Erwin pergi meninggalkan Bram. Dikejauhan Erwin kembali melihat kesedihan Bram. Dilihatnya foto Lisa yang telah dibuang dan ditinggalkan oleh Bram. Dipandangnya wajah di dalam foto tersebut.
"Maafkan aku! Semoga ini menjadi keputusan yang terbaik untukku."
****
Satu jam sebelum pertemuan Bram dan Winda
"BUKAA! BUKA PINTU!" Winda tampak panik mendengar teriakan orang-orang yang penuh dengan amarah diluar.
"WOI, BUKA ATAU GUE DOBRAK NI PINTU!" Winda tetap tak bergeming dan meringkuk ketakutan di pojok lemari kamarnya.
BRAAKKK...
Pintu depan rumah Winda berhasil di jebol oleh orang-orang yang sejak tadi berteriak memaki Winda. Mereka pun menyebar mencari Winda.
"WOI, ADA DISINI NIH ORANGNYA!" teriak seorang pemuda yang berhasil menemukan Winda.
Sontak semua orang berkumpul kearah suara tersebut. Ditariknya lengan Winda dengan kasar hingga keluar dari persembunyiannya. Lalu di dorong tubuh Winda hingga terjatuh ke lantai.
"Sudah dari seminggu yang lalu kami suruh Lo pergi dari daerah sini, kenapa masih disini juga? Cari mati Lo?" teriak salah satu pemimpin massa yang mengamuk tersebut.
"Apa salah saya, Mas?" Bibir Winda bergetar menanyakan hal tersebut. Antara takut dan sedih.
"Apa salah Lo? Kita disini sudah tahu masa lalu Lo gimana. Gara-gara Lo tinggal disini, lingkungan ini jadi selalu kena musibah."
"Betul, Lo dah bawa aib di lingkungan sini." teriak pria yang lain.
"Tapi saya kan tidak melakukan apa-apa terhadap kalian."
"Secara langsung memang tidak, tapi keputusan Lo itu sudah melanggar aturan agama. Kalau Lo mau seperti sekarang ini mending Lo keluar negeri aja. Disana mungkin cocok buat orang-orang seperti Lo. Bukan disini. Sudah pergi sana! Gue jijik ngeliat Lo. Cuuiiiihhh!" pria pemimpin massa itu menjambak rambut Winda yang sebelumnya meludahi wajah Winda dengan jijik. Winda hanya bisa menangis tanpa sedikit pun melakukan perlawanan. Dirinya menyadari, bahwa ia harus bisa menerima perlakuan seperti ini. Ia harus rela diusir dari rumahnya sendiri. Ia berjalan keluar dengan membawa tas ranselnya dan hanya melangkah tanpa tahu hedak kemana kakinya mengajak.
****
Empat Bulan setelah pertemuan Bram dan Winda
"Win, sepertinya aku..." mulut Bram berat untuk mengatakan isi hatinya kepada Winda. Winda bukan tidak tahu kemana arah bicara Bram, tapi sebisa mungkin ia berusaha untuk menghindarinya. Karena ia pun merasakan hal yang sama dengannya.
"Aku ada kuliah, Mas."
"Win, ada yang ingin aku katakan kepadamu."
"Tapi aku ada kuliah, Mas." Winda berdiri dan berusaha berjalan meninggalkan Bram, namun langkahnya tertahan dengan genggaman erat tangan Bram di lengannya. "Kenapa sih kamu selalu menghindar disaat aku ingin mengutarakan perasaanku?" Winda terdiam.
"Win... aku..."
"Cukup, Mas! Aku tidak mau kau lanjutkan ucapanmu. Lepaskan tanganku!"
"Jangan pergi!" Bram tetap menahan dan semakin mempererat genggaman tangannya.
"Mas, aku mohon!"
"Winda, aku mencintaimu..."
"CUKUUUUP!" teriak Winda sambil menutup telinganya. Badannya berguncang mengikuti irama tangisnya.
"Kamu tau, Mas… aku pun mencintaimu."
"Benarkah? bukankah itu berita bagus namanya?" ucap Bram dengan riang mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Winda.
"Tapi tahu kah kamu. Aku tersiksa dengan perasaan itu."
"Maksudmu?" Bram mengerutkan dahinya.
"Aku tersiksa, karena kamu terlalu baik untuk menjadi orang yang aku cintai. Kamu tak tahu kan siapa aku?"
"Kamu ingin bicara apa sih, Win? Jangan buat aku bingung dengan ucapanmu"
"Kamu tau saat bertemu denganmu ada beban dihatiku, rasa bersalahku muncul. Tapi semua itu tertutup dengan kebaikanmu selama itu dan rasa cintaku padamu. Dan perlu kau ingat, aku tidak mau jadi bayang-bayang mantan kekasihmu dan aku tak mau kamu terluka karena tahu siapa aku sebenarnya." jelas Winda di dalam isak tangisnya.
"Aku tidak mengerti kemana arah bicaramu, Win?" Bram makin bingung.
"Aku tahu kamu mencintaiku karena wajahku mirip dengan tunanganmu yang meninggal kan? namanya Lisa. Benar kan, Mas?" Bram kaget mendengar pernyataan dari Winda.
"Darimana kau tahu semua itu?"
"Kamu masih ingat pria yang bertemu denganmu, 2 tahun yang lalu, saat di pemakaman Lisa?" Bram makin mengerutkan dahinya. Ia berusaha membuka memorinya kembali. "Aku ingat. Pria kecil yang tiba-tiba hadir disampingku? hmm... siapa ya dulu dia menyebutkan namanya? hmm.... aku lupa!" ucap Bram berusaha keras untuk mengingat.
"Erwin?" ucap Winda
"Naah, iya, Erwin namanya. Lalu apa hubungannya denganmu?"
"Erwin itu adalah aku. Aku dulu seorang pria, Mas, tapi aku tersiksa dengan tubuh lelakiku. Sementara jiwaku adalah seorang wanita. Lisa... ya... Lisa tunanganmu. Saat aku dalam kegelisahan untuk merubah jati diriku, aku melihat mu bersedih dipemakaman Lisa. Dan dengan modal foto Lisa lah aku berusaha operasi merubah wajah dan kelaminku seperti Lisa. Karena aku pikir orang yang memiliki wajah ini sudah tiada dan tak seorang pun akan mengenaliku. Namun ternyata aku salah... Sekali lagi Erwin dan Winda adalah orang yang sama. Mereka adalah AKU."
****
Cerita ini dibuat bukan berarti membenarkan tindakan transgender. Cerita diatas menunjukkan hadiah yang didapat seseorang setelah menyalahi kodrat. Yang jelas bukan "Bahagia". Semoga kita dijauhkan hal-hal demikian.
Wassalam
Post a Comment
Aduuuh ma kasih yaaa komentarnya. Tapi mohon maaf, buat yang profilnya "unknown" langsung saya hapus. Semoga silaturahmi kita selalu terjaga walau lewat dumay. Selamat membaca tulisan yang lainnya ^_^