Tapi ini versi full, tanpa editing potong halaman dan editing dari editor. Jadi yaaa kalau masih ada yang salah-salah penulisan, mohon dimaklumi. ^_^

Bismillahirrahmanirrahiim, Beauty and Azis
Elang melempar tas ranselnya ke atas kasur. Ia duduk di depan cermin, memperhatikan wajahnya. Tak lama kemudian, ia mencari majalah yang tadi pagi ia beli. Disobeknya salah satu halaman majalah tersebut, lalu tempelannya diletakkan pada cermin di hadapannya. Kini ia membandingkan wajah artis yang ada dalam sobekan majalah tersebut dengan wajahnya di cermin. Bibirnya tersenyum miris, mencoba meyakinkan diri bahwa kemiripan itu adalah sebuah berkah, bukan kutukan. "Memang bagai pinang dibelah dua," bisiknya dalam hati, namun suaranya terdengar hampa, seperti membohongi diri sendiri. Senyum itu perlahan luntur, digantikan oleh kerutan cemas di dahi.
Sejenak, pikirannya kembali pada beberapa jam yang lalu, saat ia sedang makan siang bersama teman-temannya.
"Mas Azis, boleh foto bareng?" Tiba-tiba seorang ibu menghampirinya.
Elang hanya tersenyum dan mengangguk. Ibu itu langsung menghampiri Elang dan berpose bersama.
"Ternyata badan Mas Azis tidak seperti yang di TV, ya? Di TV perut Mas terlihat agak buncit," lanjut ibu itu setelah berfoto dengannya.
"Memang yang aslinya seperti apa, Bu?" tanya Elang.
"Seterek, Mas. Softex gitu loh, Mas."
"Six pack maksud Ibu?"
"Iya... iya... itu maksud saya. Salah ya saya, Mas?"
Sekali lagi, Elang tersenyum. "Mas Azis, sebenarnya aku ingin lama-lama ngobrol sama Mas Azis, tapi sudah ditunggu suami. Saya pamit dulu, ya, Mas! Terima kasih fotonya."
"Silakan, Bu."
Sepeninggal ibu itu, seluruh teman Elang melepas tawa yang sejak tadi mereka tahan.
"Hahahaha... Emang udah nasib lo, Lang, punya muka mirip Azis Gagap. Bedanya cuma di rezeki doang," ledek Dika, temannya yang memang hobi mencela orang.
"Ya, doain aja rezeki gue kayak Azis Gagap." celetuk Elang menanggapi celaan Dika, "tapi mendingan gue, deh. Gini-gini gue banyak dapat peran utama, daripada Kevin." Mata Elang melirik kearah Kevin.
"Nama sih boleh kebarat-baratan dan wajah gantengnya kayak Dude Herlino, tapi tetap aja selalu kebagian ngisi suara orang culun, maling yang digebukin, yaaah, yang enggak jauh dari itu, deh." lanjut Elang yang disambut tawa teman-temannya.
"Rese lo!"
"Rese lo!"
Canda siang itu diakhiri dengan timpukan tisu dari Kevin ke Elang.
***
Sekali lagi, Elang menatap wajahnya di cermin. Ia memang bercita-cita menjadi artis dan keinginannya terwujud, walaupun sebagai artis pengisi suara Drama Asia. Berhubung ia tidak pandai melawak seperti Azis Gagap, maka suaranya yang berat namun lembut, selalu menjadi modal utamanya untuk mengisi tokoh pria tampan di film drama tersebut. Selain itu, ia juga berprofesi sebagai penyiar di salah satu stasiun radio.
Nama Elang memang sudah terkenal, tapi untuk kalangan tertentu. Rata-rata penggemarnya, terutama yang wanita, suka dengan suaranya, tapi tidak dengan wajahnya. Kebanyakan mereka kecewa ketika bertemu dirinya secara langsung.
Begitu juga dalam urusan cinta, Elang tidak seberuntung Azis Gagap yang memiliki dua istri. Sejak masa SMA dulu, ia selalu ditolak wanita yang ia sukai. Namun kini ia beruntung karena sudah memiliki seorang kekasih, cantik pula parasnya. Seseorang yang begitu tulus ia sayangi.
Diambilnya foto wanita cantik berambut panjang sebahu. Foto yang ia pajang tak jauh dari cermin di hadapannya. Wanita yang telah menjadi kekasihnya selama setahun ini. Wanita yang menerima cintanya karena kedua matanya buta.
Selama setahun bersama Siska, kekasih hatinya, Elang menggunakan nama dan wajah Kevin saat ia mendeskripsikan wajahnya. Elang melakukan hal tersebut bukan tanpa alasan. Semua ia lakukan, karena Siska sangat tidak menyukai Azis Gagap. Entah kenapa, Siska seperti alergi dengan Azis Gagap. Bahkan saking tak sukanya, Siska sampai memalingkan muka atau mematikan tvnya ketika ada Azis Gagap disana. Menurutnya, Azis Gagap bukan tipenya.
Alasan itu juga yang membuat Elang selalu menghidar, jika Siska mengajaknya berkenalan dengan keluarga Siska. Untungnya di Jakarta, Siska hanya tinggal bersama Dwi, adiknya. Elang menemui Siska setiap kali Dwi tidak ada di rumah.
Elang menghela napas berat. Rasanya sebentar lagi kisah cintanya pun akan berakhir. Hatinya sakit. Kepalanya tak sanggup lagi berpikir harus bagaimana ia mempertahankan cintanya. Jantungnya terasa berhenti saat Siska berkata, "Mas, alhamdulillah, Dokter Ardi menemukan donor kornea mata untuk operasi mataku. Dan lusa aku akan dioperasi. Akhirnya aku dapat melihat wajahmu, Mas!"
***
Dengan pandangan kabur, Siska membuka matanya perlahan-lahan. Jantungnya berdebar-debar. Satu per satu dipandangi wajah orang-orang di sekitarnya. Tak ada yang asing dari pandangan matanya. Seluruh keluarganya berkumpul: Mama, Papa, Dwi, seorang suster, dan seorang pria yang memakai jas putih, yang tak lain adalah Dokter Ardi.
"Kamu bisa melihat kami, Nak?" tanya Mama dengan wajah cemas. Mama dan Papa jauh-jauh datang dari Surabaya demi melihat kesembuhan mata Siska.
Siska mengangguk menjawab pertanyaan Mama. Semua pun tersenyum bahagia melihat keberhasilan operasi mata Siska. Namun, Mama menangkap mata Siska yang sedang mencari sesuatu. "Kamu mencari siapa, Nak?" tanya Mama lembut, sepeninggal Papa dan Dokter Ardi.
"Mas Kevin, Ma. Kok, dia tidak datang ya?"
"Kevin siapa? Pacar kamu?" tanya Mama lagi.
Siska mengangguk.
"Tadi sih ada seorang pria, mukanya mirip banget sama Azis Gagap. Ia datang kemari membawa bunga untukmu. Itu bunganya, " ucap mama sambil jarinya menunjuk ke posisi bunga. "Tapi setelah meletakkan bunga, dia pergi, katanya sih ada kerjaan lagi. Tapi bukan dia, 'kan, yang kamu maksud?" tanya Mama.
"Iya, Kak. Lagian kakak kan benci banget sama Azis Gagap, tapi kalau rezekinya kayak Azis Gagap sih enggak apa-apa, deh... hehehe," ledek Dwi sambil cengar-cengir.
"Masa sih? Hmm... dompet aku mana?" tanya Siska lagi sambil mencari-cari dompetnya.
"Ini!" ujar Mama seraya memberikan dompet yang dicari Siska.
Siska langsung membuka dompetnya dan mengeluarkan sebuah foto. Foto yang diberikan oleh Kevin, kekasih hatinya. Siska tersenyum bangga memandang foto tersebut.
"Yang ini, Ma, kekasihku," ucap Siska sambil menunjukkan foto tersebut.
"Wah, kalau ini mah ganteng, Sis. Kalau yang datang tadi, bukan seperti ini. Pokoknya kayak Azis Gagap banget, deh. Bahkan sampai ke rambut-rambutnya juga mirip. Cuma dia enggak diwarnai aja jambulnya." ujar Mama seraya tangannya mengambil tas bersiap untuk pergi. "Sudah ah, lebih baik kamu istirahat saja dulu. Kamu kan baru saja dioperasi, tentunya lelah. Mama dan Dwi makan siang dulu, ya. Enggak apa-apa kan ditinggal sendiri?"
"Kamu bisa melihat kami, Nak?" tanya Mama dengan wajah cemas. Mama dan Papa jauh-jauh datang dari Surabaya demi melihat kesembuhan mata Siska.
Siska mengangguk menjawab pertanyaan Mama. Semua pun tersenyum bahagia melihat keberhasilan operasi mata Siska. Namun, Mama menangkap mata Siska yang sedang mencari sesuatu. "Kamu mencari siapa, Nak?" tanya Mama lembut, sepeninggal Papa dan Dokter Ardi.
"Mas Kevin, Ma. Kok, dia tidak datang ya?"
"Kevin siapa? Pacar kamu?" tanya Mama lagi.
Siska mengangguk.
"Tadi sih ada seorang pria, mukanya mirip banget sama Azis Gagap. Ia datang kemari membawa bunga untukmu. Itu bunganya, " ucap mama sambil jarinya menunjuk ke posisi bunga. "Tapi setelah meletakkan bunga, dia pergi, katanya sih ada kerjaan lagi. Tapi bukan dia, 'kan, yang kamu maksud?" tanya Mama.
"Iya, Kak. Lagian kakak kan benci banget sama Azis Gagap, tapi kalau rezekinya kayak Azis Gagap sih enggak apa-apa, deh... hehehe," ledek Dwi sambil cengar-cengir.
"Masa sih? Hmm... dompet aku mana?" tanya Siska lagi sambil mencari-cari dompetnya.
"Ini!" ujar Mama seraya memberikan dompet yang dicari Siska.
Siska langsung membuka dompetnya dan mengeluarkan sebuah foto. Foto yang diberikan oleh Kevin, kekasih hatinya. Siska tersenyum bangga memandang foto tersebut.
"Yang ini, Ma, kekasihku," ucap Siska sambil menunjukkan foto tersebut.
"Wah, kalau ini mah ganteng, Sis. Kalau yang datang tadi, bukan seperti ini. Pokoknya kayak Azis Gagap banget, deh. Bahkan sampai ke rambut-rambutnya juga mirip. Cuma dia enggak diwarnai aja jambulnya." ujar Mama seraya tangannya mengambil tas bersiap untuk pergi. "Sudah ah, lebih baik kamu istirahat saja dulu. Kamu kan baru saja dioperasi, tentunya lelah. Mama dan Dwi makan siang dulu, ya. Enggak apa-apa kan ditinggal sendiri?"
"Enggak apa-apa, Ma," ujar Siska.
Siska menghela napas berat, sepeninggal Mama dan Dwi. Ia kecewa karena momen yang dinanti-nanti untuk melihat wajah Kevin saat pertama kali matanya bisa melihat, tidak kesampaian.
Tak lama kemudian, terdengar lagu "Angel" - Sarah McLachlan dari dalam tasnya. Segera Siska mengambil ponselnya yang mengeluarkan nada dering tersebut. Nada dering yang mengalunkan lagu kenangan Siska dan Kevin. Ponsel itu pun pemberian dari Kevin, yang hanya ia gunakan untuk menerima telepon darinya.
"Halo, Mas! Kenapa enggak datang?" rajuk Siska ketika menerima telepon dari Kevin dengan bibir cembetut.
Dari luar, di balik pintu kamar Siska, Elang tersenyum kecil melihat wajah kekasihnya yang menggemaskan.
"Maaf, Sayang, aku lagi ada panggilan dubber dadakan, nih, karena mau tayang besok. Tapi operasi kamu berhasil kan?" Ia menjawab telepon sambil sesekali matanya mengintip wajah Siska dari kaca pintu kamar tersebut.
"Alhamdulillah sudah, Mas."
"Alhamdulillah... Bungaku sampai, kan?"
"Iya, Mas. Untungnya, waktu orang yang mengantar bungamu datang, perban mataku belum dibuka. Habis kata Mama dan Dwi mirip Azis Gagap. Mas Kevin kan tahu kalau aku alergi dengan Azis Gagap." Hati Elang seperti teriris pisau, ketika mendengar perkataan Siska. "Tapi aku suka bunga pemberianmu. Indah. Aku jadi tidak sabar ingin bertemu denganmu, Mas."
"Insyaallah, nanti, ya. Aku disini bahagia mendengar keberhasilan operasi mata kamu. Sekarang aku kerja dulu ya!" ujar Elang mengakhiri pembicaraannya dengan Siska. Sebelum ia pergi, Elang mengintip sekali lagi ke dalam kamar Siska melalui kaca pintu. "Sepertinya aku tidak mungkin bertemu denganmu lagi. Maafkan aku, Siska!" batinnya dalam hati.
"Alhamdulillah sudah, Mas."
"Alhamdulillah... Bungaku sampai, kan?"
"Iya, Mas. Untungnya, waktu orang yang mengantar bungamu datang, perban mataku belum dibuka. Habis kata Mama dan Dwi mirip Azis Gagap. Mas Kevin kan tahu kalau aku alergi dengan Azis Gagap." Hati Elang seperti teriris pisau, ketika mendengar perkataan Siska. "Tapi aku suka bunga pemberianmu. Indah. Aku jadi tidak sabar ingin bertemu denganmu, Mas."
"Insyaallah, nanti, ya. Aku disini bahagia mendengar keberhasilan operasi mata kamu. Sekarang aku kerja dulu ya!" ujar Elang mengakhiri pembicaraannya dengan Siska. Sebelum ia pergi, Elang mengintip sekali lagi ke dalam kamar Siska melalui kaca pintu. "Sepertinya aku tidak mungkin bertemu denganmu lagi. Maafkan aku, Siska!" batinnya dalam hati.
***
Siska berdiri dengan gelisah. Saputangan berwarna biru dengan ukiran nama di ujungnya, ia genggam erat-erat. Sudah hampir sebulan lebih ia tidak sedikit pun mendengar kabar tentang Kevin. Ia bagai ditelan bumi. Telepon terakhirnya adalah saat Siska baru saja menyelesaikan operasi matanya. Setelah itu, handphonenya tak pernah diangkat.
Selama seminggu terakhir ini, Siska berusaha mencari-cari alamat tempat kerja Kevin. Dan kini ia sudah berada di lobi kantor Kevin, menunggu kedatangan kekasih hatinya.
Di genggaman tangannya, ia memegang saputangan yang di ujungnya ia sulam nama Kevin. Saputangan dengan warna biru kesukaan Kevin. Kevin pernah bilang bahwa jika mata Siska mampu melihat, ia ingin disulamkan namanya di atas sebuah saputangan. Karena ia tahu Siska pandai menyulam sebelum kecelakaan merusak matanya.
Di genggaman tangannya, ia memegang saputangan yang di ujungnya ia sulam nama Kevin. Saputangan dengan warna biru kesukaan Kevin. Kevin pernah bilang bahwa jika mata Siska mampu melihat, ia ingin disulamkan namanya di atas sebuah saputangan. Karena ia tahu Siska pandai menyulam sebelum kecelakaan merusak matanya.
Ting... bunyi pintu lift terbuka. Matanya sempat terpana dan segera ia palingkan saat melihat orang pertama yang keluar dari lift. Mirip sekali dengan Azis Gagap. Orang tersebut, yang semula tertawa dengan temannya, tiba-tiba tawanya terhenti namun matanya tak henti memperhatikan Siska juga saputangan yang dipegang oleh Siska. Akan tetapi, Siska tak peduli dengannya. Matanya sibuk mencari wajah yang mirip dengan foto yang diberikan oleh Kevin. Hingga orang di dalam lift keluar semua, Siska tak menemukan wajah orang yang dicarinya.
"Cari siapa, Mba?" Tiba-tiba seorang pria menyapanya.
"Teman," jawab Siska seadanya. Matanya tak berkedip menatap angka pada pintu lift tersebut.
"Kalau saya boleh tahu, namanya siapa, ya, Mba? Mungkin saya bisa bantu. Oh iya, nama saya Dika. Mba?" ujar Dika sambil mengulurkan tangannya.
"Siska," jawab Siska membalas uluran tangan Dika. "Saya mencari Kevin. Hmm.. ini fotonya." lanjut Siska menjawab pertanyaan Dika.
"Ooh, Kevin tadi pulang lebih dulu. Ada keperluan sepertinya. Ada yang ingin disampaikan, Mba?" tanya Dika lagi.
"Tidak usah. Terima kasih! Besok saya akan kemari lagi," ucap Siska kecewa. Ia pergi meninggalkan kantor tersebut dengan langkah gontai.
"Vin, Pleaseee... gue minta lo jadi gue sebulan aja. Habis itu lo boleh putusin dia, tapi baik-baik, ya. Pleaseee... Kemarin aja gue sempat nyuruh Dika biar enggak ketemu lo dulu," mohon Elang kepada Kevin. Seribu cara digunakan Elang seharian untuk merayu Kevin agar mau menggantikan dirinya.
"Gue tuh, heran deh sama lo. kenapa enggak jujur aja sih? Kalau memang dia tulus mencintai lo, dia terima lo apa adanya," ujar Kevin kesal.
"Gue takut dia kecewa, Vin. Lagian dia alergi dengan Azis Gagap," ujar Elang sambil menundukkan kepalanya. Sebetulnya Kevin juga tak tega mendengar kisah Elang dan melihat kesedihan di mata sahabatnya. Di saat Elang mulai menemukan cintanya, ia dihadapkan lagi dengan kenyataan akan ditolak cintanya untuk kesekian kali. Akhirnya Kevin pun menyanggupi dengan syarat hanya sebulan.
Dengan sukacita Elang menyambut kesediaan Kevin. Ia pun langsung menyusun strategi untuk Kevin dengan menceritakan segala hal tentang Siska dan dirinya selama bersama Siska.
***
Siska tidak mengerti dengan perasaannya kini. Entah ia harus bahagia atau... Awal perjumpaannya dengan Kevin membuat hatinya berdebar-debar, seperti layaknya orang yang baru pertama kali jatuh cinta. Namun setelah hampir tiga minggu ia jalan bareng bersama Kevin, ia merasakan ada yang tak terisi dalam hatinya. Ia merasakan banyak perubahan pada diri Kevin. Seolah ia seperti bersama orang lain, bukan bersama kekasih hatinya.
Kevin yang ia kenal orangnya sangat hangat, ceria, dan menyenangkan. Kevin yang ia kenal selalu membuatnya terasa nyaman. Sedangkan Kevin yang sekarang terkesan kaku. Seperti ada tembok penghalang di antara mereka. Kevin yang dulu selalu bilang, "Cinta datang dari kenyamanan hati, bukan fisik," saat Siska merasa minder dengan kebutaannya saat itu. Tapi yang sekarang, selalu mengagungkan kehebatan fisik. Satu lagi yang membuat Siska merasa janggal, suara Kevin tidak seperti suara pria yang selalu ia rindukan setiap malam, suaranya seperti orang tercekik. Walau demikian, Siska berusaha membawa dirinya untuk nyaman bersama Kevin.
Siska tidak mengerti dengan perasaannya kini. Entah ia harus bahagia atau... Awal perjumpaannya dengan Kevin membuat hatinya berdebar-debar, seperti layaknya orang yang baru pertama kali jatuh cinta. Namun setelah hampir tiga minggu ia jalan bareng bersama Kevin, ia merasakan ada yang tak terisi dalam hatinya. Ia merasakan banyak perubahan pada diri Kevin. Seolah ia seperti bersama orang lain, bukan bersama kekasih hatinya.
Kevin yang ia kenal orangnya sangat hangat, ceria, dan menyenangkan. Kevin yang ia kenal selalu membuatnya terasa nyaman. Sedangkan Kevin yang sekarang terkesan kaku. Seperti ada tembok penghalang di antara mereka. Kevin yang dulu selalu bilang, "Cinta datang dari kenyamanan hati, bukan fisik," saat Siska merasa minder dengan kebutaannya saat itu. Tapi yang sekarang, selalu mengagungkan kehebatan fisik. Satu lagi yang membuat Siska merasa janggal, suara Kevin tidak seperti suara pria yang selalu ia rindukan setiap malam, suaranya seperti orang tercekik. Walau demikian, Siska berusaha membawa dirinya untuk nyaman bersama Kevin.
Di sisi lain, Kevin merasa ada sesuatu yang istimewa dari Siska. Ia datang untuk menolong Elang, tapi ia malah menemukan ketenangan yang tak pernah ia duga. Siska tidak pernah mengeluh, ia selalu tertawa renyah, dan cara bicaranya yang tulus membuat Kevin merasa jadi dirinya sendiri. Siska tak pernah menilai Kevin dari penampilannya, melainkan dari hati. Perasaan Kevin yang semula hanya sebatas membantu, perlahan tumbuh menjadi kagum. Ia mulai merasa ada tembok penghalang di antara mereka, namun bukan karena Siska, melainkan karena kebohongan yang ia jalani.
"Maaf, Lang... sepertinya gue jatuh cinta dengan Siska," ujar Kevin nyaris tak terdengar. Telinga Elang bagai tersambar petir mendengar ucapan Kevin.
"Gue kan enggak minta lo untuk jatuh cinta sama dia," ujar Elang sambil menahan amarahnya.
"Ini semua salah lo, Lang... seandainya lo enggak memohon-mohon sama gue untuk kenal dengan Siska, tidak akan timbul perasaan ini. Maaf, Lang. ini tumbuh dengan sendirinya."
Elang terdiam. Panas membara dalam hati bergejolak, meronta ingin keluar. Ia marah pada kebodohannya sendiri. Namun di satu sisi, ia tak mau Siska kecewa. Elang begitu mencintainya.
"Jika memang hal tersebut membahagiakannya..." Elangterdiam sesaat, "aku rela... jaga dia baik-baik!" Dengan berat hati Elang mengucapkan kata-kata tersebut. Ia pun melangkah dengan gontai meninggalkan Kevin, tanpa sedikit pun memberikan kesempatan Kevin untuk bicara.
"Maaf, Lang... sepertinya gue jatuh cinta dengan Siska," ujar Kevin nyaris tak terdengar. Telinga Elang bagai tersambar petir mendengar ucapan Kevin.
"Gue kan enggak minta lo untuk jatuh cinta sama dia," ujar Elang sambil menahan amarahnya.
"Ini semua salah lo, Lang... seandainya lo enggak memohon-mohon sama gue untuk kenal dengan Siska, tidak akan timbul perasaan ini. Maaf, Lang. ini tumbuh dengan sendirinya."
Elang terdiam. Panas membara dalam hati bergejolak, meronta ingin keluar. Ia marah pada kebodohannya sendiri. Namun di satu sisi, ia tak mau Siska kecewa. Elang begitu mencintainya.
"Jika memang hal tersebut membahagiakannya..." Elangterdiam sesaat, "aku rela... jaga dia baik-baik!" Dengan berat hati Elang mengucapkan kata-kata tersebut. Ia pun melangkah dengan gontai meninggalkan Kevin, tanpa sedikit pun memberikan kesempatan Kevin untuk bicara.
***
Siska berteriak sambil terus mengejar copet yang merampas tasnya. Saat itu ia memang sedang menunggu kedatangan Kevin di Stasiun Gambir. Namun, Siska tak sanggup lagi mengejar pencopet tersebut. Ia memutuskan untuk pergi ke kantor security melaporkan kehilangan tasnya.
Setibanya di kantor tersebut, Siska dipersilakan duduk di salah satu meja. Di sana ia melihat ada beberapa meja yang berisi orang-orang yang mungkin juga kehilangan seperti dirinya.
Salah seorang security mempersilakan Siska untuk duduk. Saat petugas keamanan tersebut sedang mempersiapkan berkas laporan untuk Siska, Siska mendengar suara yang sangat familiar di telinganya di sebelah mejanya. Meja yang tersekat dengan dinding gypsum setinggi pundaknya ketika ia berdiri.
"Baik, apa yang hilang, Pak?" tanya security tersebut kepada orang di sebelahnya.
"Jam tangan saya, Pak. Di tali jam tersebut ada ukiran tulisan dengan huruf braille."
Jantung Siska terasa berhenti mendengar suara pelapor di samping mejanya. Suara itu... suara yang selama setahun ia rindukan setiap malamnya. Suara yang begitu menggetarkan hatinya. Dan jam tangan yang dibicarakan orang tersebut, sama dengan jam tangan pemberian Siska untuk Kevin.
Siska perlahan memberanikan diri untuk berdiri dan melihat wajah orang tersebut. "Mas Kevin?" panggil Siska.
Elang langsung menoleh ke arah suara yang sangat ia kenal. Ia kaget bukan kepalang, saat ia melihat wajah orang yang memanggil nama Kevin kepadanya. Begitu pun dengan Siska, ia tak menyangka si pemilik suara tersebut, wajahnya mirip sekali dengan Azis Gagap. Orang yang sempat ia lihat saat ia berdiri di depan pintu lift untuk menunggu Kevin.
Siska berteriak sambil terus mengejar copet yang merampas tasnya. Saat itu ia memang sedang menunggu kedatangan Kevin di Stasiun Gambir. Namun, Siska tak sanggup lagi mengejar pencopet tersebut. Ia memutuskan untuk pergi ke kantor security melaporkan kehilangan tasnya.
Setibanya di kantor tersebut, Siska dipersilakan duduk di salah satu meja. Di sana ia melihat ada beberapa meja yang berisi orang-orang yang mungkin juga kehilangan seperti dirinya.
Salah seorang security mempersilakan Siska untuk duduk. Saat petugas keamanan tersebut sedang mempersiapkan berkas laporan untuk Siska, Siska mendengar suara yang sangat familiar di telinganya di sebelah mejanya. Meja yang tersekat dengan dinding gypsum setinggi pundaknya ketika ia berdiri.
"Baik, apa yang hilang, Pak?" tanya security tersebut kepada orang di sebelahnya.
"Jam tangan saya, Pak. Di tali jam tersebut ada ukiran tulisan dengan huruf braille."
Jantung Siska terasa berhenti mendengar suara pelapor di samping mejanya. Suara itu... suara yang selama setahun ia rindukan setiap malamnya. Suara yang begitu menggetarkan hatinya. Dan jam tangan yang dibicarakan orang tersebut, sama dengan jam tangan pemberian Siska untuk Kevin.
Siska perlahan memberanikan diri untuk berdiri dan melihat wajah orang tersebut. "Mas Kevin?" panggil Siska.
Elang langsung menoleh ke arah suara yang sangat ia kenal. Ia kaget bukan kepalang, saat ia melihat wajah orang yang memanggil nama Kevin kepadanya. Begitu pun dengan Siska, ia tak menyangka si pemilik suara tersebut, wajahnya mirip sekali dengan Azis Gagap. Orang yang sempat ia lihat saat ia berdiri di depan pintu lift untuk menunggu Kevin.
Elang pun ikut terkejut melihat Siska yang sudah berada di sampingnya.
"Pak, saya batalkan laporan saya," ujar Elang langsung berdiri dan lari meninggalkan Siska.
"Tunggu!" teriak Siska yang ikut pergi meninggalkan meja security untuk mengejar lelaki tersebut.
"Tunggu, Mas Kevin... atau siapa pun namamu, tunggu aku! Aduhhh?!" Siska terjatuh, terpeleset, karena saat itu sedang hujan turun yang percikannya membasahi lobi stasiun. Mendengar rintihan Siska, Elang menghentikan langkahnya.
"Tunggu, Mas!" Dengan tertatih-tatih ia bangun dan berjalan mendekati Elang. Namun, ketika Siska berada di dekat Elang, ia mendengar namanya dipanggil. Siska menoleh ke belakang, ke arah suara yang lain yang memanggil dirinya. "Mas Kevin?"
"Kakimu kenapa?" tanya Kevin yang sudah berada di sisi Siska.
Merasa terselamatkan oleh kehadiran Kevin, Elang melangkahkan kembali kakinya. "Tunggu, Mas!" Langkah Elang tertahan oleh genggaman erat jemari Siska. Sekali lagi, waktu seolah terhenti saat Siska merasakan ada bekas luka di pergelangan tangan orang yang ia pegang. Bekas luka yang sama dengan bekas luka yang ia rasakan ketika menggenggam lengan Kevin saat ia buta dulu. Mungkinkah ia...?
"Elang?" tanya Kevin kaget melihat lengan pria yang dipegang tangannya oleh Siska.
"Kamu mengenalnya?" tanya Siska kepada Kevin.
Kevin terdiam. Wajahnya terlihat panik. Ia sadar bahwa dirinya terpojok dengan situasi ini. Kini perhatian Siska tertuju pada Kevin. Genggaman tangannya pada Elang dilepaskannya.
"Dia teman kerjaku. Elang namanya," ujar Kevin yang suaranya makin tercekik.
"Mas Kevin, aku mau tanya. Di mana kamu simpan jam tangan pemberianku?"
"Jam tangan?" Kevin bingung menjawabnya. "Jam tangan itu hilang," ujarnya mencari akal untuk menutupi kebohongannya.
Siska melihat kebohongan di mata Kevin. Lalu ia menoleh ke arah Elang.
"Baik, jika hilang, tentunya kamu masih ingat isi tulisan braille yang terukir di tali jam tangan tersebut. Katakan padaku, karena Mas Kevin pernah bilang kalau ia tak akan pernah bisa melupakan tulisan tersebut," tantang Siska kepada Kevin. Saat mengucapkan permintaan tersebut, ia melirik kepada Elang. Jantungnya berdebar-debar menahan emosi yang kian memuncak di dadanya.
"Pak, saya batalkan laporan saya," ujar Elang langsung berdiri dan lari meninggalkan Siska.
"Tunggu!" teriak Siska yang ikut pergi meninggalkan meja security untuk mengejar lelaki tersebut.
"Tunggu, Mas Kevin... atau siapa pun namamu, tunggu aku! Aduhhh?!" Siska terjatuh, terpeleset, karena saat itu sedang hujan turun yang percikannya membasahi lobi stasiun. Mendengar rintihan Siska, Elang menghentikan langkahnya.
"Tunggu, Mas!" Dengan tertatih-tatih ia bangun dan berjalan mendekati Elang. Namun, ketika Siska berada di dekat Elang, ia mendengar namanya dipanggil. Siska menoleh ke belakang, ke arah suara yang lain yang memanggil dirinya. "Mas Kevin?"
"Kakimu kenapa?" tanya Kevin yang sudah berada di sisi Siska.
Merasa terselamatkan oleh kehadiran Kevin, Elang melangkahkan kembali kakinya. "Tunggu, Mas!" Langkah Elang tertahan oleh genggaman erat jemari Siska. Sekali lagi, waktu seolah terhenti saat Siska merasakan ada bekas luka di pergelangan tangan orang yang ia pegang. Bekas luka yang sama dengan bekas luka yang ia rasakan ketika menggenggam lengan Kevin saat ia buta dulu. Mungkinkah ia...?
"Elang?" tanya Kevin kaget melihat lengan pria yang dipegang tangannya oleh Siska.
"Kamu mengenalnya?" tanya Siska kepada Kevin.
Kevin terdiam. Wajahnya terlihat panik. Ia sadar bahwa dirinya terpojok dengan situasi ini. Kini perhatian Siska tertuju pada Kevin. Genggaman tangannya pada Elang dilepaskannya.
"Dia teman kerjaku. Elang namanya," ujar Kevin yang suaranya makin tercekik.
"Mas Kevin, aku mau tanya. Di mana kamu simpan jam tangan pemberianku?"
"Jam tangan?" Kevin bingung menjawabnya. "Jam tangan itu hilang," ujarnya mencari akal untuk menutupi kebohongannya.
Siska melihat kebohongan di mata Kevin. Lalu ia menoleh ke arah Elang.
"Baik, jika hilang, tentunya kamu masih ingat isi tulisan braille yang terukir di tali jam tangan tersebut. Katakan padaku, karena Mas Kevin pernah bilang kalau ia tak akan pernah bisa melupakan tulisan tersebut," tantang Siska kepada Kevin. Saat mengucapkan permintaan tersebut, ia melirik kepada Elang. Jantungnya berdebar-debar menahan emosi yang kian memuncak di dadanya.
Siska menatap Kevin, lalu beralih ke Elang. Ada rasa janggal yang ia tangkap dari sorot mata mereka. Seperti ada benang kusut yang menghubungkan mereka berdua, yang selama ini luput dari pandangannya. Instingnya sebagai seorang wanita yang baru saja mendapatkan penglihatan, menangkap sinyal bahaya. Ia mencium sesuatu yang telah lama disembunyikan darinya.
"Sudahlah Siska, untuk apa kamu mempermasalahkan hal tersebut. Di sini ramai orang, nanti kita bahas di rumah saja," elak Kevin sambil merangkul Siska untuk pergi dari tempat tersebut.
Siska menurut, namun langkahnya terhenti saat ia mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Elang.
"Love comes from the heart rather than physical attraction... Itu kata yang tertulis dalam tali jam tangan pemberianmu," ujar Elang. Mungkin inilah saatnya ia harus mengatakan yang sejujurnya pada Siska.
.png)
"Cinta datang dari kenyamanan hati, bukan dari fisik." lanjut Elang "Maafkan aku, Siska. Namaku adalah Elang. Akulah kekasih hatimu selama satu tahun disaat kau buta."
"Sudahlah Siska, untuk apa kamu mempermasalahkan hal tersebut. Di sini ramai orang, nanti kita bahas di rumah saja," elak Kevin sambil merangkul Siska untuk pergi dari tempat tersebut.
Siska menurut, namun langkahnya terhenti saat ia mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Elang.
"Love comes from the heart rather than physical attraction... Itu kata yang tertulis dalam tali jam tangan pemberianmu," ujar Elang. Mungkin inilah saatnya ia harus mengatakan yang sejujurnya pada Siska.
.png)
"Cinta datang dari kenyamanan hati, bukan dari fisik." lanjut Elang "Maafkan aku, Siska. Namaku adalah Elang. Akulah kekasih hatimu selama satu tahun disaat kau buta."
Elang terdiam sesaat. Ia berusaha mengatur nafasnya yang sesak dalam mengungkapkan kebenaran.
"Aku meminjam identitas Kevin agar aku bisa selalu dekat denganmu saat itu. Begitupun saat matamu dapat melihat. Aku memohon kepada Kevin agar menjadi aku, karena aku masih belum bisa menerima jika kamu menolak cintaku ketika kamu tahu wajahku mirip dengan wajah artis yang kamu benci." Kepala Elang tertunduk.
Dada Siska bergemuruh mendengar pengakuan Elang. "Kenapa kamu lakukan itu?" tanyanya dengan bibir bergetar.
"Aku tidak mau mengecewakanmu.." perlahan Elang memberanikan diri menatap lembut mata Siska saat mengucapkan itu.
Namun kembali ia menundukkan kepalanya ketika mengucapkan,"Aku tak bisa memungkiri jika ternyata Kevin jatuh cinta kepadamu. Ironinya ketika melihatmu bermesraan dengan Kevin, hati ini sakit. Hingga kini rasa sakit itu masih membekas."
Mata Elang memerah menahan kepedihan hatinya.
"Kini aku sudah ikhlas, jika ternyata kamu membenci aku. Terima kasih kamu sudah menjadi kenangan indah di hatiku." Elang mengakhiri kata-katanya dengan menahan rasa sakit di hatinya. Bibirnya begetar. Matanya menatap lembut ke Siska, seolah ingin mengatakan, "Maafkan aku!"
Elang segera membalikkan badannya meninggalkan Siska dan Kevin yang masih diam terpaku. Sesegera mungkin ia menghapus rasa sakit hatinya yang keluar melalui tetesan air matanya.
Mulut Siska tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Matanya menahan genangan air yang siap mengalir di pipinya. Entah perasaan apa yang kini berkecamuk di hatinya. Ia hanya mampu menatap punggung tegap milik Elang yang makin menjauh. Namun, tiba-tiba ia mendengarkan bisikan lain di hatinya. Ia lepas rangkulan tangan Kevin di pundaknya.
"Kamu mau ke mana, Sis?" tanya Kevin.
"Mas, terima kasih kamu mau mengisi kekosongan hari-hariku selama dua bulan ini, tapi kamu tidak bisa menggantikan posisi kekasih hatiku di kala aku buta. Mataku boleh buta, tapi tidak dengan hatiku. Kini aku harus mengejarnya untuk menempatkan ia kembali," ujar Siska. Selesai mengucapkan kata-kata itu, ia berlari mengejar Elang dengan kaki tertatih-tatih. Rasa sakit di kakinya diabaikan demi menggapai kekasih sesungguhnya.
"Mas Elang, tunggu!"
Elang menghentikan langkahnya, mendengar namanya dipanggil, tapi ia belum sanggup untuk membalikan badannya. Tiba-tiba ia merasakan pelukan hangat dipunggungnya dari belakang.
"Jangan pergi! Aku enggak peduli wajahmu seperti Azis Gagap atau Gogon sekalipun. Bukankah kamu yang selalu membesarkan hatiku dengan kata-katamu bahwa cinta datang dari kenyamanan hati, bukan dari fisik. Dulu kamu bisa menerima gadis buta sepertiku, kenapa sekarang aku justru menolak Azis Gagap yang mampu mengoyak cintaku? Aku mencintaimu, Mas."
Pecah sudah tangis Elang mendengar ucapan Siska. Kini ia punya kekuatan membalikkan badannya dan membalas pelukan Siska, seraya membisikkan,"Aku juga mencitaimu Siska".
*** Tamat ***
Post a Comment
Aduuuh ma kasih yaaa komentarnya. Tapi mohon maaf, buat yang profilnya unknown langsung saya hapus. Semoga silaturahmi kita selalu terjaga walau lewat dumay. Selamat membaca tulisan yang lainnya ^_^