Membangun Jiwa Pengusaha pada Anak

Friday, December 2, 2016



Assalamu'alaikum wr. wb.
Bismillahirrahmanirrahiim

Sudah dua minggu ini saya membantu Fikri jualan puding sedot. Semua itu berawal karena Fikri sering melihat saya wirausaha (dari online sampai ke lapak). Hingga suatu hari dia menyampaikan keinginannya, "Mi, aku usaha juga dong kayak Ummi".

Hmm... Memang sudah sejak lama saya ingin membangun jiwa pengusaha ke diri Fikri. Bukan karena saya ingin memperkerjakan dia, melainkan saya ingin dia punya kemampuan untuk bertahan hidup di masa yang akan datang. kalau istilah bulenya Lifeskill.

Bagi saya pelajaran akademik itu penting, tapi mempunyai kemampuan (skill) untuk bertahan hidup jauh lebih penting.


Baca juga : Cara mendidik anak menjadi cerdas dan sukses.

Ada beberapa pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik ditelinga saya. Saat ini saya coba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Nggak takut dicap sebagai orangtua yang memperkerjakan anak, Mba?
Loh, ini kan anaknya yang minta. Kalau kita yang memaksa dia untuk jualan, itu baru boleh disebut memperkerjakan anak. Yang saya lakukan disini adalah menanmkan jiwa usaha untuk Fikri. Lagipula jikalau Fikri sudah bosan dan enggan jualan lagi, ya ga papa juga untuk di stop. Bedakan antara memperkerjakan anak dengan membangun jiwa pengusaha dalam diri anak.
Ini ada ilustrasi sederhana yang bisa jadi acuan, kira-kira mana yang mempekerjakan anak dengan yang membangun jiwa pengusaha dalam diri anak


Kasus 1 :
Ada seorang ibu, sebut saja si A, mempunyai anak yang berbakat dalam membuat puding. Lalu si A melihat bakat ini. Si A pun meminta anaknya untuk membuat puding, nanti penjualannya si A yang memasarkan. Modal jualan diberikan ke anak si A dengan untung yang dibagi 2. Dan semua hasil ide si A. Anaknya cukup bekerja sesuai arahan A.

Kasus 2 :
Anak si A, menghampiri A untuk minta jualan sesuatu. Lalu si A mengajak anak berdiskusi kira-kira apa yang mau dia jual. Hingga mencapai kata sepakat berdua bahwa anak si A hendak menjual puding. Perencanaan dibuat bersama, diskusi bersama, hingga keinginan itu muncul dari diri si anak. Si A cukup membuatkan puding, merancang desain kemasan lalu yang jual anaknya. Segala ide-ide baru dikeluarkan oleh si anak.

Nah, kira-kira... dari 2 kasus diatas, mana kasus yang disebut mempekerjakan anak dan mana kasus yang membangun jiwa pengusaha dalam diri anak?

Fikri kan masih SD, Mba kenapa nggak nanti saja sih saat dia remaja?
Tak selamanya kita hidup di Dunia ini. Suatu saat kita pasti mati. Jika hal itu terjadi disaat anak-anak belum kita tanamkan Lifeskill kedalam diri mereka, bagaimana mereka bisa bertahan hidup? Apakah harus selalu memohon bantuan orang lain? Iya jika banyak yang membantu, Alhamdulillah. Jika tidak?

Untungnya apa, Mba buat anak dengan mendidiknya menjadi pengusaha cilik?
Banyak loh yang anak dapatkan,selain uang, dari melatihnya menjadi seorang pengusaha. Berikut yang sudah didapat dalam diri Fikri:
  • Menumbuhkan Rasa Percaya Diri
Fikri memang orang yang mudah bersosialisasi dengan siapa pun, tapi dia tidak punya rasa percaya diri untuk berbicara di depan orang banyak. Dengan berjualan, kini dia punya rasa percaya diri yang besar. Karena jualannya bukan hanya disukai oleh teman sebayanya, tapu kakak-kakak kelas banyak yang datang dan beli pudot ke Fikri. Malah kemarin saya takjub, dia berani mempromosikan dagangannya ke ruang guru. Masya Allah, berkah dari Allah.

Pesanan guru-guru Fikri

  • Mampu Berpikir Kreatif
Sejak Fikri berjualan puding sedot ke teman-teman sekolahnya, membuat dia jadi anak yang kreatif dalam memecahkan masalah. Bahkan banyak ide-ide segar keluar dalam pemikiran dia untuk mempromosikan jualannya. Salah satunya, dia mencoba berjualan lewat sosmed. Baru lewat instagram sih.. xixixi... kreatif, karena saya nggak pernah mengajarkan hal itu.

Ide kreatif Fikri yang tidak diajarkan


  • Menjadi Anak Yang Optimis
Saya seringkali saya bertanya yang meragukan kemampuannya, seperti, "Ini nggak apa-apa, Bang bawa 15 botol?" (karena biasanya saya batasi sehari 10 botol puding sedot). Dengan rasa optimis yang tinggi dia justru menenangkan saya, "Insya Allah, Mi. Doain mudah-mudahan habis ya!"
Masya Allah, terharu dengarnya.

  • Belajar Berhemat
Banyak teman-teman saya yang kadang suka mengeluh anaknya yang seringkali jajan, bakan sehari bisa menghabiskan Rp 20.000. Saya sih tidak menyalahkan anaknya. Yang namanya anak-anak memang hobi jajan. Yang dewasa aja masih banyak yang hobi jajan. ^_^
Begitupun dengan Fikri. Fikri selalu mengeluh uang jajannya kurang, karena makanan yang sehat justru mahal-mahal. Maklum umminya keseringan nonton reportase di Trans TV jadi parno duluan sama jajanan diluar. Sehingga Fikri harus pintar memilih jajanan. Tapi semenjak ia berjualan, ia justru jarang memakai uang untung jualannya. Tiga hari pertama dia jualan sih bahagia banget, dia bisa jajan yang mahal-mahal. Tapi makin kemari, dia lebih memilih menabung uang untung jualannya daripada jajan. Mungkin (ini sih pemikiran saya saja) dia merasa susahnya bekerja kali yaa... ^_^

  • Muncul Jiwa Leadership
Dari percaya diri yang kuat, tidak menyangka juga, jiwa leadership Fikri keluar dengan sendirinya. Terbukti saat dia pulang sekolah mengeluh tidak mau jualan, karena dia dimarahi ketua kelasnya. Menurut ketua kelasnya, gara-gara Fikri, kelas jadi kotor. Karena anak-anak yang membeli pudot ke Fikri, menjadikan botol pudingnya mainan. Diisi air lalu dijadikan senjata buat main perang-perangan.
Abi Fikri memberikan masukkan, "coba besok kalau pas Abang jualan, Abang sambil bilang ke teman-teman setelah minum buang botolnya ke tempat sampah ya!"
Begitupun saat Fikri mengeluh uangnya selalu kurang karena yang beli rebutan ambil botol pudingnya, sehingga dia lupa siapa yang sudah bayar siapa yang belum. Saya hanya memberi masukkan seperti Abinya, "Besok kamu suruh antri dulu sebelum beli."
Semua masukkan kami dijalankan oleh Fikri. Keesokan harinya saya tanya, "Emang pada nurut, Bang kamu bilang begitu?"
"Nurut, Mi. Ketua kelas nggak marah lagi sama aku." jawab Fikri dengan santai.
Sekali lagi berucap... Masya Allah... berkah dari Allah.

Trus orangtuanya dapat apa, Mba?
Bagi orangtua, banyak juga keuntungan yang didapat dengan mendidik anak menjadi seorang pengusaha. Kita bisa menyisipkan pesan-pesan moral untuk bekal bagi anak kelak. Ini yang selalu saya titipkan ke Fikri setiap kali dia mau jualan.
  • Nak, Jangan sedih jika tidak ada yang beli. Rejeki itu Allah yang atur. Kamu cukup berusaha dan berdoa, semoga Allah berikan yang terbaik untuk jualan kamu.
  • Jangan lupa awali dengan baca Bismillah.
  • Setiap dagang itu pasti ada kendalanya. Nggak usah sedih.. Yuk kita cari sama-sama jalan keluarnya.
  • Dicatat. Setiap pesanan harus dicatat. Karena kita harus amanah untuk menjaga kepercayaan pembeli.
  • Setiap keuntungan itu ada 2,5% milik orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita. Yuk, sedekah.
  • Jangan sibuk jualan, sehingga meninggalkan sholat Dhuha. Kalau bisa kamu tetap sholat dhuha setelah itu baru jualan.
  • Minta maaf ya, Nak. Karena pesanannya habis. Sampaikan insya Allah nanti kita buat lagi yang baru. Nanti dikabari kalau ada yang baru.
Itu semua dilakukan mengalir begitu saja. Dan pesan moril lewat praktek jauh lebih mengena daripada hanya sekedar masukan lewat ucapan.
Alhamdulillah semua didukung oleh lingkungan Fikri termasuk sekolah Fikri di SDIT Al Muhajirin Depok.

Semoga artikel ini bisa bermanfaat buat yang lain. Aamiin.

Wassalam


Post a Comment

Aduuuh ma kasih yaaa komentarnya. Tapi mohon maaf, buat yang profilnya "unknown" langsung saya hapus. Semoga silaturahmi kita selalu terjaga walau lewat dumay. Selamat membaca tulisan yang lainnya ^_^